Serambi Pesantren: Tukang Pijit
Di
mata kami, para santri yang sedang menimba ilmu, Kang Mukmin adalah santri yang
beruntung. Ia diberi kesempatan untuk dapat berdekat-dekat dengan Mbah Kyai.
Ini dikarenakan Kang Mukmin sangat sering diminta oleh Mbah Kyai untuk memijit
badannya. Ya, Kang Mukmin adalah tukang pijit kesukaan Mbah Kyai.
Sebetulnya
ada beberapa santri senior lain yang terkadang juga diminta untuk memijit. Tapi
itu sewaktu-waktu saja kalau kebetulan Kang Mukmin sedang tidak ada saat
dibutuhkan. Mbah Kyai lebih suka dipijit sama Kang Mukmin. Maklum, perawakan
Kang Mukmin yang keker dengan tenaga yang kuat menjadikan pijitannya berasa
lebih mantap. Dan satu lagi yang menjadikan Mbah Kyai lebih senang dipijit Kang
Mukmin; ia tak akan berhenti memijit sebelum Mbah Kyai menyuruhnya berhenti.
Lalu
di mana letak keberuntungan Kang Mukmin sebagai tukang pijit? Saat ia memijit
Mbah Kyai kesempataan ini seringkali digunakan olehnya untuk bertanya banyak
hal dan ilmu yang tidak disampaikan di kelas. Permasalahan-permasalahan yang
menurut Kang Mukmin musykil seringkali ia dapatkan jawabannya dari Mbah Kyai
saat sedang dipijit.
Kepada
kami Kang Mukmin pernah bercerita kalau seringkali ia hanya bertanya satu
permasalahan, namun Mbah Kyai menjawab panjang lebar hingga banyak ilmu yang ia
dapat. “Kalau sudah demikian,” katanya, “Mbah Kyai berbicara banyak hal yang
tidak aku tanyakan. Ada soal tafsir, sejarah, politik,
social, pendidikan, menjelaskan ayat atau hadis dengan tema tertentu, dan banyak hal lain.”
Aku
masih teringat Kang Mukmin pernah bercerita kepada kami tentang nasehat beliau sebagai bekal bila kelak Kang Mukmin membina rumah tangga. Ini ia
sampaikan di kamar setelah ia memijit Mbah Kyai.
“Wah,
tadi Mbah Kyai banyak memberi pelajaran berharga tentang pendidikan
anak.”
Katanya ketika baru saja masuk kamar.
“Memang
ceritanya bagaimana, Kang?” aku memancing, berharap ia mau berbagi ilmu barunya
itu.
“Saat dipijit tadi Mbah Kyai menanyaiku soal kawin,”
Kang Mukmin memuali ceritanya.
“Kau belum pengin kawinan, Min?” Tanya Mbah Kyai.
“Hehe,” hanya itu yang keluar dari mulutku, tak lebih.
“Kelak kalau sudah kawin dan punya anak, satu hal yang
jangan pernah kau lewatkan; ikut sertakan anak-anakmu dalam doamu. Belajarlah
dari Kanjeng Nabi Ibrahim. Beliau adalah orang tua yang paling perhatian pada
anak-anak dan keturunannya.”
“Sejak masih muda dan belum berumah tangga Kanjeng
Nabi Ibrahim itu tak pernah berhenti meminta kepada Allah untuk diberi
keturunan yang saleh; Rabbii hablii minas shaalihiin. Itu yang beliau pinta;
keturunan yang saleh. Bukan yang cerdas dan pinter, yang bagus dan cantik, yang
hebat, bukan. Tapi yang saleh.”
“Setelah beliau tua, berumah tangga, dan bahkan telah
diangkat menjadi seorang utusan Tuhan, beliau tetap mengikutsertakan anak
keturunannya dalam doa. Umpamanya beliau berdo’a; rabbi ij’alnii muqiimas
shalaati wa min dzurriyatii. Ya Allah, jadikan aku orang yang menegakkan
shalat, juga keturunanku.”
“Karena do’a-do’a beliau yang selalu mengikutsertakan
keturunannya ini maka tak aneh kalau Nabi Ismail, salah satu puteranya, menjadi
anak yang sangat saleh, takwa kepada Allah dan sangat penurut pada orang
tuanya.”
“Coba kau bayangkan, Min. Seorang anak yang menginjak
usia remaja diberitahu orang tuanya bahwa berdasarkan perintah Allah ia harus
disembelih, lha kok ya Nabi Ismail langsung nurut saja. Tanpa Tanya ini itu,
tanpa protes. Apa itu bukan kesalehan yang luar biasa? Lha anak jaman sekarang,
baru disuruh orang tuanya beli bawang sama lombok di warung sebelah rumah saja
tak mau. Alasan ini itu”
“Tapi, Min. bukan sekedar dengan do’a saja Kanjeng
Nabi Ibrahim diberi keturunan yang saleh-saleh oleh Allah. Ada perilaku
tertentu, ada amalan tertentu yang menjadikan beliau diberi keterunan
berkualitas.”
“Amalan apa itu, Mbah Kyai?” tanyaku penasaran sambil
memijit telapak kaki beliau yang kanan. Mbah Kyai tak segera menjawab. Beliau
sedikit bergerak memposisikan dirinya agar lebih nyaman.
“Nabi Ibrahim itu,” kata Mbah Kyai kemudian, “diuji
oleh Allah dengan beberapa ujian. Beliau diperintah untuk melakukan banyak hal
dan kesemuanya beliau lakukan secara sempurna. Tanpa ada kekurangan, juga tidak
berlebihan. Atas prestasi inilah Allah memberinya hadiah dengan menjadikannya
sebagai qudwah, imam, pemimpin bagi umat manusia.”
“Saat Allah menyatakan hal ini Nabi Ibrahim seperti
kurang puas. Ia teringat anak-anak keturunannya. Maka beliau meminta agar tidak
dirinya saja yang dijadikan pemimpin, tetapi juga keturunannya. Allah
mengabulkan permintaan itu tapi dengan satu catatan, janji Allah ini tidak
berlaku bagi orang-orang yang berbuat zalim.”
“Maka kita ketahui dalam sejarah bahwa para nabi dan
rasul yang diutus setelah Nabi Ibrahim adalah keturunan beliau. Dalam sejarah
pula kita ketahui bahwa keturunan beliau sebagian ada yang diberi kerasulan,
ada yang diberi kekuasaan menjadi raja, dan ada juga yang diberi kedua-duanya,
menjadi rasul juga menjadi raja.”
“Luar biasa bukan? Makanya, Min, kalau kau
menginginkan anak keturunan yang berkualitas mulailah usahanya dari sekarang.
Mulailah dari dirimu sendiri. Jadikan dirimu sebagai hamba yang berkualitas di
hadapan Allah dengan sebisa mungkin menjalani setiap perintah-Nya secara
sempurna. Kalau sudah demikian, insya Allah kelak Allah memberimu keturunan
yang berkualitas pula, sukses dunia sukses akherat.”
Begitulah Kang Mukmin. Sebagai santri senior yang
paling sering dan paling disukai diminta memijit Mbah Kyai ia sangat sering
mendapatkan banyak ilmu yang tidak didapatkan para santri. Dan aku, kami, yang
kebetulan ditempatkan satu kamar dengannya merasa sangat beruntung sering ketiban
berkah mendapat ilmu-ilmu yang didapatkan oleh Kang Mukmin itu.
***
Malam itu jam di dinding kamarku sudah menunjukkan
pukul satu malam. Kami yang sedang tertidur lelap terbangun oleh suara pintu yang
dibuka dan ditutup dengan keras.
Kang Mukmin masuk. Wajahnya terlihat kusut. Nafasnya
sedikit tersengal.
“Ada apa, Kang?” Tanya Ardian sambil mengusap-usap
matanya.
Kang Mukmin tak langsung menjawab. Ia menurunkan
tubuhnya untuk duduk, menenangkan diri.
“Sampeyan itu kenapa to, Kang? Dari mana
malam-malam begini?” Rosyid tak sabar ingin tahu.
“Aku dari rumah Mbah Kyai, Kang. Aku malu,” jawab Kang
Mukmin, wajahnya sedikit tegang.
“Memangnya kenapa?” Rosyid mengejar.
“Jam setengah dua belas tadi aku dipanggil Mbah Kyai
untuk memijit. Beliau baru pulang dari luar kota. Mungkin karena kecapekan
beliau tertidur. Lha aku ini kan kalau memijit nggak mau berhenti kalau Mbah Kyai
belum menyuruh berhenti. Jadi meski beliau tidur ya aku tetap saja memijit. Eh lah,
karena aku capek aku malah ketiduran juga.”
“Terus, Kang Mukmin ketiduran sampai dibangunin sama
Mbah Kyai begitu?” aku menyela.
“Kalau cuma itu nggak masalah. Tapi…” Kang Mukmin tak
meneruskan ucapannya.
“Tapi kenapa, Kang?” Ardian mengejar. Kami penasaran.
“Saat bangun tadi, ternyata aku tertidur di atas
punggungnya Mbah Kyai.”
Mendengar pengakuan itu sejenak kami terkejut, lalu
meledaklah tawa kami.
Sumber : http://www.yazidmuttaqin.com/2014/12/serambi-pesantren-tukang-pijit.html
Komentar
Posting Komentar